Rabu, 18 Januari 2012

Hadis hasan dan permasalahannya

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.


B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat. [1]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan [2]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi [3]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [4]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah) [5]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta. [6]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah. [7]
            Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut        adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya. [8]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
            Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain. [9]
            Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal. [10]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini. [11]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah [12]:



a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny







































BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis harus bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.       hasan li dzatihi
b.      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan          hukum maupun dalam beramal
c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.       Sunan at-Tirmidzy
b.      Sunan Abu Daud
c.       Sunan ad-Dar Quthny


AFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar        Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang       diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,            Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan    Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar             al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol    Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar       cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.

           
            [1][1] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
            [1][2 Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
            [1][3 Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 38
            [1][4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
            [1][5 Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
            [1][6 Ibid., h. 230
            [1][7}Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 334
            [1][8 Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
            [1][9]nna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
            [1][10]aufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
            [1][11Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
            [1][12] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123
           





















 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.


B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat. [1]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan [2]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi [3]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [4]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah) [5]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta. [6]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah. [7]
            Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut        adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya. [8]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
            Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain. [9]
            Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal. [10]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini. [11]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah [12]:



a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny







































BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis harus bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.       hasan li dzatihi
b.      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan          hukum maupun dalam beramal
c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.       Sunan at-Tirmidzy
b.      Sunan Abu Daud
c.       Sunan ad-Dar Quthny


AFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar        Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang       diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,            Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan    Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar             al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol    Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar       cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.

           
            [1][1] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
            [1][2 Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
            [1][3 Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 38
            [1][4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
            [1][5 Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
            [1][6 Ibid., h. 230
            [1][7}Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 334
            [1][8 Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
            [1][9]nna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
            [1][10]aufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
            [1][11Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
            [1][12] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123
           











 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.


B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat. [1]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan [2]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi [3]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [4]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah) [5]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta. [6]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah. [7]
            Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut        adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya. [8]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
            Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain. [9]
            Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal. [10]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini. [11]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah [12]:



a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny







































BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis harus bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.       hasan li dzatihi
b.      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan          hukum maupun dalam beramal
c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.       Sunan at-Tirmidzy
b.      Sunan Abu Daud
c.       Sunan ad-Dar Quthny


AFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar        Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang       diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,            Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan    Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar             al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol    Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar       cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.

           
            [1][1] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
            [1][2 Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
            [1][3 Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 38
            [1][4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
            [1][5 Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
            [1][6 Ibid., h. 230
            [1][7}Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 334
            [1][8 Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
            [1][9]nna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
            [1][10]aufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
            [1][11Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
            [1][12] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123
           





















 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.


B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat. [1]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan [2]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi [3]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [4]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah) [5]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta. [6]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah. [7]
            Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut        adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya. [8]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
            Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain. [9]
            Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal. [10]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini. [11]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah [12]:



a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny







































BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis harus bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.       hasan li dzatihi
b.      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan          hukum maupun dalam beramal
c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.       Sunan at-Tirmidzy
b.      Sunan Abu Daud
c.       Sunan ad-Dar Quthny


AFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar        Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang       diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,            Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan    Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar             al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol    Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar       cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.

           
            [1][1] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
            [1][2 Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
            [1][3 Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 38
            [1][4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
            [1][5 Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
            [1][6 Ibid., h. 230
            [1][7}Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 334
            [1][8 Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
            [1][9]nna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
            [1][10]aufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
            [1][11Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
            [1][12] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123
           





















 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.


B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat. [1]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan [2]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi [3]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [4]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah) [5]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta. [6]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah. [7]
            Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut        adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya. [8]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
            Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain. [9]
            Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal. [10]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini. [11]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah [12]:



a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny







































BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis harus bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.       hasan li dzatihi
b.      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan          hukum maupun dalam beramal
c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.       Sunan at-Tirmidzy
b.      Sunan Abu Daud
c.       Sunan ad-Dar Quthny


AFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar        Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang       diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,            Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan    Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar             al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol    Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar       cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.

           
            [1][1] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
            [1][2 Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
            [1][3 Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 38
            [1][4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
            [1][5 Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
            [1][6 Ibid., h. 230
            [1][7}Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 334
            [1][8 Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
            [1][9]nna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
            [1][10]aufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
            [1][11Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
            [1][12] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123
           





















 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.


B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat. [1]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan [2]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi [3]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [4]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah) [5]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta. [6]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah. [7]
            Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut        adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya. [8]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
            Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain. [9]
            Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal. [10]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini. [11]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah [12]:



a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny







































BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis harus bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.       hasan li dzatihi
b.      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan          hukum maupun dalam beramal
c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.       Sunan at-Tirmidzy
b.      Sunan Abu Daud
c.       Sunan ad-Dar Quthny


AFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar        Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang       diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,            Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan    Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar             al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol    Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar       cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.

           
            [1][1] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
            [1][2 Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
            [1][3 Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 38
            [1][4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
            [1][5 Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
            [1][6 Ibid., h. 230
            [1][7}Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 334
            [1][8 Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
            [1][9]nna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
            [1][10]aufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
            [1][11Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
            [1][12] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123
           





















 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.


B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat. [1]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan [2]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi [3]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [4]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah) [5]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta. [6]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah. [7]
            Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut        adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya. [8]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
            Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain. [9]
            Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal. [10]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini. [11]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah [12]:



a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny







































BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis harus bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.       hasan li dzatihi
b.      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan          hukum maupun dalam beramal
c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.       Sunan at-Tirmidzy
b.      Sunan Abu Daud
c.       Sunan ad-Dar Quthny


AFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar        Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang       diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,            Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan    Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar             al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol    Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar       cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.

           
            [1][1] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
            [1][2 Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
            [1][3 Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 38
            [1][4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
            [1][5 Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
            [1][6 Ibid., h. 230
            [1][7}Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 334
            [1][8 Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
            [1][9]nna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
            [1][10]aufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
            [1][11Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
            [1][12] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123
           





















 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.


B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat. [1]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan [2]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi [3]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [4]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah) [5]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta. [6]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah. [7]
            Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut        adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya. [8]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
            Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain. [9]
            Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal. [10]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini. [11]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah [12]:



a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny







































BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis harus bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.       hasan li dzatihi
b.      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan          hukum maupun dalam beramal
c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.       Sunan at-Tirmidzy
b.      Sunan Abu Daud
c.       Sunan ad-Dar Quthny


AFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar        Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang       diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,            Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan    Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar             al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol    Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar       cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.

           
            [1][1] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
            [1][2 Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
            [1][3 Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 38
            [1][4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
            [1][5 Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
            [1][6 Ibid., h. 230
            [1][7}Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 334
            [1][8 Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
            [1][9]nna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
            [1][10]aufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
            [1][11Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
            [1][12] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123
           





















 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.


B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat. [1]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan [2]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi [3]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [4]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah) [5]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta. [6]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah. [7]
            Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut        adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya. [8]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
            Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain. [9]
            Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal. [10]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini. [11]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah [12]:



a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny







































BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis harus bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.       hasan li dzatihi
b.      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan          hukum maupun dalam beramal
c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.       Sunan at-Tirmidzy
b.      Sunan Abu Daud
c.       Sunan ad-Dar Quthny


AFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar        Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang       diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,            Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan    Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar             al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol    Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar       cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.

           
            [1][1] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
            [1][2 Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
            [1][3 Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 38
            [1][4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
            [1][5 Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
            [1][6 Ibid., h. 230
            [1][7}Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 334
            [1][8 Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
            [1][9]nna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
            [1][10]aufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
            [1][11Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
            [1][12] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123
           





















 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.


B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat. [1]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan [2]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi [3]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [4]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah) [5]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta. [6]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah. [7]
            Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut        adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya. [8]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
            Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain. [9]
            Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal. [10]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini. [11]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah [12]:



a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny







































BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis harus bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.       hasan li dzatihi
b.      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan          hukum maupun dalam beramal
c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.       Sunan at-Tirmidzy
b.      Sunan Abu Daud
c.       Sunan ad-Dar Quthny


AFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar        Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang       diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,            Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan    Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar             al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol    Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar       cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.

           
            [1][1] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
            [1][2 Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
            [1][3 Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 38
            [1][4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
            [1][5 Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
            [1][6 Ibid., h. 230
            [1][7}Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 334
            [1][8 Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
            [1][9]nna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
            [1][10]aufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
            [1][11Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
            [1][12] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123
           





















 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.


B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat. [1]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan [2]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi [3]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [4]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah) [5]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta. [6]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah. [7]
            Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut        adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya. [8]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
            Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain. [9]
            Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal. [10]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini. [11]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah [12]:



a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny







































BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis harus bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.       hasan li dzatihi
b.      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan          hukum maupun dalam beramal
c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.       Sunan at-Tirmidzy
b.      Sunan Abu Daud
c.       Sunan ad-Dar Quthny


AFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar        Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang       diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,            Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan    Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar             al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol    Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar       cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.

           
            [1][1] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
            [1][2 Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
            [1][3 Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 38
            [1][4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
            [1][5 Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
            [1][6 Ibid., h. 230
            [1][7}Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 334
            [1][8 Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
            [1][9]nna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
            [1][10]aufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
            [1][11Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
            [1][12] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123
           





















 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.


B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat. [1]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan [2]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi [3]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [4]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah) [5]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta. [6]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah. [7]
            Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut        adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya. [8]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
            Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain. [9]
            Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal. [10]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini. [11]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah [12]:



a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny







































BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis harus bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.       hasan li dzatihi
b.      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan          hukum maupun dalam beramal
c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.       Sunan at-Tirmidzy
b.      Sunan Abu Daud
c.       Sunan ad-Dar Quthny


AFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar        Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang       diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,            Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan    Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar             al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol    Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar       cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.

           
            [1][1] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
            [1][2 Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
            [1][3 Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 38
            [1][4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
            [1][5 Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
            [1][6 Ibid., h. 230
            [1][7}Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 334
            [1][8 Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
            [1][9]nna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
            [1][10]aufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
            [1][11Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
            [1][12] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123
           





















 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.


B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat. [1]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan [2]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi [3]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [4]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah) [5]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta. [6]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah. [7]
            Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut        adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya. [8]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
            Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain. [9]
            Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal. [10]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini. [11]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah [12]:



a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny







































BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis harus bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.       hasan li dzatihi
b.      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan          hukum maupun dalam beramal
c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.       Sunan at-Tirmidzy
b.      Sunan Abu Daud
c.       Sunan ad-Dar Quthny


AFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar        Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang       diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,            Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan    Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar             al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol    Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar       cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.

           
            [1][1] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
            [1][2 Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
            [1][3 Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 38
            [1][4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
            [1][5 Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
            [1][6 Ibid., h. 230
            [1][7}Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 334
            [1][8 Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
            [1][9]nna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
            [1][10]aufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
            [1][11Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
            [1][12] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123
           





















 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.


B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat. [1]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan [2]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi [3]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [4]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah) [5]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta. [6]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah. [7]
            Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut        adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya. [8]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
            Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain. [9]
            Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal. [10]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini. [11]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah [12]:



a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny







































BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
  1. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
  2. Kriteria hadis hasan :
1)      Sanad hadis harus bersambung.
2)      Perawinya adil
3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:
a.       hasan li dzatihi
b.      hasan li ghairi
b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya      dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan          hukum maupun dalam beramal
c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.       Sunan at-Tirmidzy
b.      Sunan Abu Daud
c.       Sunan ad-Dar Quthny


AFTAR PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar,  Mushthalah Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar        Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang       diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,            Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan    Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar             al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t], Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol    Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar       cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.

           
            [1][1] Subhi Shalih, op. cit., h. 156
            [1][2 Manna’ Khalil al-Qatthan, op. cit., h. 121
            [1][3 Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 38
            [1][4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.  cit., h.332
            [1][5 Nawir Yuslem, Ulumul hadis,(t.t, Mutiara sumber Widya, 2001) h. 230
            [1][6 Ibid., h. 230
            [1][7}Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 334
            [1][8 Taufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 5
            [1][9]nna’ Khalil al-Qatthan, op .cit., h. 124
            [1][10]aufiq Umar Sayyidy, op. cit., h. 7
            [1][11Nawir Yuslem, op. cit., h. 233
            [1][12] Manna’ Khalil al-Qatthan, op.cit., h. 123